Pemilihan kepala Daerah ini memiliki arti penting dalam menggerakkan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Rakyat memiliki hak untuk memutuskan secara demokratis melalui pemilu "PILKADA" sekalipun ditengah gempuran strategi tim pemenangan masing-masing calon yang menggerahkan "segala cara" untuk dapat memastikan kemenangan dipihak mereka.
Sekalipun PILKADA ini diselenggarakan ditengah memanasnya suhu politik sebagai "residu" dari panasnya pemilu di level Presiden dan wakil presiden, bahkan ditengah kemunculan berbagai kasus-kasus yang ramai diperbincangkan sekaligus diperdebatkan, setidaknya agenda PILKADA tetap berlangsung sesuai rencana.
Pertarungan Pilkada ini dinilai masih merupakan pertarungan jilid 2 antara KIM Plus dan PDIP sekalipun di berbagai daerah polarisasi dukungan partai KIM Plus tidak linear alias tidak selalu KIM Plus bersama dalam setiap daerah. Ada partai-partai KIM Plus yang pada akhirnya memilih jalan untuk bersinergi dengan partai lainnya yang merupakan lawan tanding mereka di Pilpres.
Hal ini tentu merupakan keniscayaan dalam berpolitik. Politik itu tidak pernah linear. Kemarin berseberangan, hari ini bisa bergandeng tangan dan seterusnya. Karena itu, sudah seyogyanya publik atau pemilik suara diedukasi untuk tidak terjebak dalam rasa politik "fanatis".
Setiap pimpinan daerah yang terpilih, bisa saja berpotensi menjadi faktor kemajuan signifikan dalam kerja layan mereka. Namun, dapat juga memperburuk kondisi sebelumnya atau membalikkan capaian kesejahteraan yang idealnya dipertahankan.
Publik perlu membaca data kinerja para pemimpin daerah yang terjerat dalam politik yang mementingkan kesejahteraan kelompok dan keluarga. Hasilnya, "jatah" publik tergerus atau dialihkan pada agenda mereka.
Data menunjukkan bahwa Angka korupsi pemimpin daerah tinggi. Misalkan data ICW (indonesia Corruption Watch) rentang tahun 2021-2023 mencatat 61 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka. Tentu data ini bisa semakin membengkak jika ditelusuri terkait kasus-kasus yang belum terdeteksi.
Jika kita tilik dari data yang dimiliki KPK sepanjang tahun 2004-2024, 167 kepala daerah tersandung kasus "Abuse of Power" atau penyalahgunaan kewenangan. Begitu juga dengan 618 kasus yang sedang ditangani. Hal ini tentu disebabkan oleh mahalnya ongkos politik yang hingga hari ini tidak dapat dibendung. Hal hasil, setiap daerah berpotensi kehilangan kesempatan memperoleh kesejahteraan.
Secara Normatif, hal ini dapat dicegah dengan keberfungsian lembaga-lembaga negara, khususnya yang bersinggungan langsung dengan perkara pencegahan, pengusutan, dan penindakan. Begitu juga, masyarakat melalui mekanisme partisipasi beropini di ruang puvlik dapat menjadi semacam "polisi Sosmed" yang dapat memperbesar tekanan terhadap sebuah isu yang perlu didalami, diusut dan dibawa kepengadilan.
Lepas dari itu semua, publik juga perlu belajar memberi kepercayaan kepada pemimpin pilihan mereka untuk dapat melaksanakan tugas sebagai mana diamanahkan kepadanya. Sebab kecurigaan yang terus menerus diperbincangkan tanpa batas, etika kepatutan, hanya akan membawa situasi atau lingkungan kerja yang tidak mendukung atau kondusif.
Doa kita bersama, NKRI, memiliki mayoritas pemimpin yang amanah, berpihak pada politik Kesejahteraan. Selamat atas keterpilihan pemimpin.
BPP
Komentar0