Namun, oleh sebagian pandangan lainnya, sebagai sebuah kemungkinan hal tersebut dapat saja terjadi. Hal ini didasarkan pada hakikat sebuah partai. Sejatinya sebuah partai akan dinamis, cair dan lentur (fleksibel) jika diperhadapkan pada kebutuhan atau kepentingan mendesak yang belum pernah terpikirkan atau diramalkan sebelumnya.
Semua partai prinsipnya membutuhkan "kekuasaan". Hanya dengan cara merebut kemenanganlah kekuasaan dapat diraih, digunakan mewujudkan cita-cita atau maksud didirikannya partai. Partai politik bukanlah lembaga sosial, lembaga sukarela dan lembaga non profit. Partai adalah mekanisme yang sah secara undang-undang untuk mencapai semua kepentingan. Termasuk didalamnya kepentingan profit.
Dalam konteks dimana situasi politik terkendali, maka mekanisme normatif kepartaian seperti mekanisme pengkaderan akan berjalan secara alami. Hal tersebut akan diabaikan jika kondisi kepartaian memeroleh tantangan yang tidak biasa.
Kehadiran multi partai akan menjadi variabel penentu apakah prilaku politik normatif di jalannya. Dalam konteks kontestasi multi partai prinsip "Harus Menang" akan menjadi prinsip yang dikedepankan. Apa gunanya mendirikan partai dan selalu kalah dengan lawan partai lainnya. Karena itu, mekanisme serba dimungkinkan akan menjadi penanda bahwa garis kebijakan partai mudah mengalami perubahan.
Dalam konteks pembuatan kebijakan, sulit rasanya sebuah partai akan hadir tanpa membuka ruang pada mekanisme kompromi. Posisi tawar masing-masing partai yang memiliki suara dominan akan melakukan dialog-dialog yang pada gilirannya memaksa sebuah partai akan membuat "kebijakan Bunglon".
Perihal apakah mungkin Gibran dan Jokowi masuk radar ketua umum itu sangan "mungkin". Ada pepatah yang mengatakan bahwa "segala sesuatu mungkin dalam politik kecuali membangkitkan orang mati."
Admin BPP
Komentar0