Guru besar atau Profesor dalam musim politik ini menjadi trending. Bukan saja aksi turun kampus melawan pencalonan Prabowo dan Gibran sebagai calon presiden dan wakil presiden yang menyita perhatian publik, tapi hadirnya barisan Profesor di salah satu Universitas di Kalimantan yanag disinyalir menempuh proses raihan Profesor yang "tidak valid" menambah kisah pilu dunia akademik.
Di samping itu, hadirnya ragam pandangan para elite politik bahkan kelompok akademisi bergelar profesor yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi menimbukan sisi Viral dan diekori oleh mata, teliga, dan benak publik sembari mempertanyakan "kompetensi" ke Profesoran yang disandang.
Beberapa suara publik mempertanyakan konstribusi barisan Profesor yang disinyalir merupakan perpanjangan tangan kelompok tertentu yang berkeinginan menghentikan langkah Jokowi. Sementara di pihak Istana, barisan Profesor turut bersuara melemahkan suara-suara yang anti tesis dengan pemerintahan berkuasa. Hasilnya, para guru besar mendapat porsi menarik di mata publik. Hal ini dikuatkan dengan key word "Profesor" mudah ditemui di dalam mesin pencari google.
Hadirnya kritik terhadap performa para guru besar atau Profesor tentu menjadi kisah duka bagi dunia Kampus yang perlu di kritisi. Tentu ekspektasi, harapan publik ketika mendengar seorang Profesor bersuara menjadi semacam jaminan bahwa opini yang disampaikan "amat dapat dipercaya". Terlebih di tengah serbuan "HOAX" yang membingungkan masyarakat, kehadiran para Profesor dapat menjadi semacam perisai. Dengan kata lain, mengutip pemikiran atau opini Profesor merupakan senjata pamungkas memenangkan perang argumentasi.
Sayangnya, harapan ini tidak sepenuhnya dapat dipenuhi, sebab dengan hadirnya Profesor yang memperoleh gelar tanpa prosedur yang "Natural", opini para guru besar abal-abal ini justru malah menjadi jalan menuju "kesesatan".
Indonesia perlu melakukan semacam gerakan "DARURAT PROFESOR", yakni menimbang kembali kebijakan perupaan Seorang Profesor.
Admin
BPP
Foto (Google, Tempo)
Komentar0