Keputusan Jokowi mendukung pencalonan Prabowo-Gibran ketimbang Ganjar-Mahfud, meninggalkan akar pahit bagi PDIP. Akar pahit ini seperti "nilai setitik rusak sebelanga". Perbedaan sikap politik dengan Megawati pada akhirnya membuat sebagian besar elite PDIP merasa kehilangan "naungan". PDIP seolah kehilangan tongkat kekuasaan. Kebijakan partai PDIP hanya bertuah di dalam internal PDIP sendiri.
Dahulu mereka memiliki mesin kekuasaan di mana Jokowi ditempatkan sebatas petugas yang menjalankan mesin kebijakan partai. Apa yang di rumuskan PDIP secara internal akan menjadi sebuah kebijakan di ranah birokrasi.
Ketika Jokowi tidak lagi berada dalam perahu partai PDIP, seketika, semarak, wibawa partai PDIP seolah di lucuti. PDIP seolah kehilangan kendali, oleng bahkan ambruk dalam kontestasi kekuasaan di mana seharusnya mereka dapat mempertahankan kekuasaan tersebut kalau saja Jokowi turut diberi andil dalam menentukan arah kebijakan PDIP.
Apapun yang ingin disampaikan, dikeluhkan oleh PDIP, khususnya elite, tidak mendapatkan ruang di mayoritas wong cilik. Padahal partai ini mengidentikkan diri mereka sebagai partai wong cilik. Wong cilik kini sudah mengasosiasikan diri mereka dengan "wong Jokowi". Orangnya Jokowi yang sudah merasakan hasil nyata "kerja Jokowi" yang dalam berbagai kesempatan diserang oleh elite-elite partai bahkan oleh ketua umumnya sendiri.
Tuduhan curang, dinasti, perusak demokrasi, pembohon, dll banyak dilancarkan oleh PDIP, dan tentu dari partai lain, namun tidak segarang PDIP. Sayangnya, serangan PDIP terhadap Jokowi seolah angin lalu. bertiup kencang namun tidak dapat memadamkan histeria pada sosok Jokowi yang akan diprediksi akan menjadi roh bagi pembangunan Indonesia di lanskap baru, khususnya di IKN.
Dalam satu kesempatan, Ahok, elite PDIP, menceritakan bahwa semangat PDIP dalam menggedor dan mengkritik Jokowi merupakan cerminan dari jadi diri PDIP yang bukan partai Bunglon, yang selalu berubah-ubah. Sayangnya, prinsip ini tidak sejalan dengan sikap partai dalam berurusan dengan beragam masalah. Sebut saja, ungkapan bahwa, "Percuma berkoar-koar atau mengkritik, marah pada ke gelapan, lebih baik menyalakan lilin untuk mengusir kegelapan." Peribahasa ini tentu memiliki kebenaran yang tak terbantahkan. Sayangnya, jika lilin atau lentera di nyalakan di rumah orang lain, atau di luar rumah sendiri. Hasilnya rumah sendiri akan tetap "gelap".
Kondisi seperti inilah yang disebut mati gaya, mati ide, bahkan mati rasa. Sehingga apapun yang ingin dikatakan PDIP "hambar", kehilangan rasa. Sementara di partai lain, ada banyak gaya yang berkembang mengikuti rasa wong cilik mayotitas. Ayo PDIP berubah atau "ditinggalkan".
Admin BPP
Foto: Google, Liputan 6
Komentar0