MAHASISWA "KELIRU" MENILAI KINERJA JOKOWI

Dalam ilmu komunikasi, menurut Greber, 1981, politik itu adalah permainan kata-kata. Jadi, kepandaian berkata-kata merupakan syarat penting jika berkeinginan menaiki panggung politik. Dalam hal ini kita menjadi ingat akan adagium atau pepatah lawas bahwa politisi itu wajib cerdik, cerdas dalam menyampaikan janji-janji kampanya. Dan jika gagal, cukup jelaskan mengapa janji itu tidak bisa dilaksanakan, ya di tambah sedikit permainan "kambing hitam".

Berbicara soal kepuasan kinerja pemerintah, BEM SI turun ke jalan melakukan demo menuntut 12 tuntutan dan berkeras ingin menyampaikanya langsung kepada Jokowi. Sayangnya mereka tidak bisa di temui Jokowi, kabarnya saat mereka turun ke jalan, Jokowi sedang ada dalam perjalanan menuju Papua. Setidaknya, disini Mahasiswa gagal dalam memahami dinamika kerja Jokowi dan komunikasi protokeler kepresidenan.

Dalam satu kesempatan, perwakilan Mahasiswa menjawab pertanyaan berapa nilai kinerja dari kerja Jokowi? Sontak juru bicara mahasiswa tersebut menjawab dari skala 1-100 nilai kerja Jokowi 10 yang artinya jika dikonversi dalam skala 1-10, nilai pak Jokowi adalah 1. Tentu penilaian ini dengan mudah diabaikan oleh pemerintah apalagi rakyat sebagai penerima langsung manfaat kerja Jokowi.

Sebut saja, angka kepuasan kinerja Jokowi yang tembus di atas 80% merupakan capaian yang tidak dapat dipatahkan. Sebab penilaian tersebut bukan saja datang dari surveyor, tapi oleh rakyat langsung yang disuarakan dalam berbagai kesempatan dan media. Dan penilain ini tak terbantahkan ketika pemilu Presiden, rakyat memilih calon yang terindikasi berkomitmen melanjutkan kerja Jokowi.

Dalam buku Filsafat Nilai, Risieri Frondizi, 2001, menjelaskan bahwa sebuah barang bernilai bukan karena penggunanya memandang barang tersebut bernilai, tapi memang barang itu pada hakikatnya memiliki nilai. 

Jadi sering kali, Si pemberi nilai, khususnya dalam politik hanya menekankan aspen subjektivitas daripada Objektivitas.

Admin BPP

Foto, Google (detikcom)