Dalam satu kesempatan diskusi dengan seorang politisi di daerah, Ia mengatakan bahwa jangan jadi politisi jika selalu resah dengan apa yang akan dikatakan orang lain tentang seorang politisi. Disalah mengerti merupakan menu sehari-hari. Karena itu, siapa saja yang ingin terjun di panggung politik harus sudah siap kehidupannya di "obok-obok".
Karena itu kita tidak heran bagaimana para politisi akan santai saja ketika dikritik. Seolah mau mengatakan cara untuk menangkis kritik adalah dengan cara melakukan "kritik". Bisa jadi, mekanisme kritik mengkritik ini merupakan dua sisi mata uang yang selalu harus bersisihan.
Kritik dan dikritik seolah menjadi mozaik atau puzzle yang harus ada dan tidak boleh tidak ada. Kita bisa membayangkan ada demokrasi tanpa kritik? Jika sebuah demokrasi kehilangan unsur kritik maka demokrasi akan segera menjadi monarkhi.
Seorang politisi yang dihujani berbagai kritik perlu merespon dengan seribu wajah. Tergantung efek dramaturgi apa yang perlu dimainkan. Jika dikritik secara negatif, seorang politisi akan menunjukkan wajah tersenyum dan membalas sebagai bentuk "balasan". Seolah mengatakan jika ombak menerjang, kendarai ombaknya.
Jokowi adalah sosok yang termasuk "kebal kritik" dan selalu menyetel ketegangan layaknya senar gitar yang dikencangi hingga memunculkan bunyi harmoni. Begitu juga jika angin kencang berhembus, Ia akan terbang seperti layang-layang yang naik terbang tinggi. Jika ombang menerjang, Ia akan memilih berselancar.
Admin
BPP
Foto (google, fodiumnews)
Komentar0